Novel Gautama Byakta : 22. Pergi Tanpa Pamit
Novel Gautama Byakta:
Siapa yang menuntut penjelasan, ketika perpisahan tengah terjadi dalam kehidupan. Apakah pantas rasa cinta yang mendalam hanya di pendam tanpa sang pemilik hati mengetahui yang sebenarnya.
Geya Nismara
****
Waktu berlalu, kedua insan tersebut semakin dekat. Kerap kali melakukan perjalanan bersama menuju beberapa tempat destinasi wisata. Mereka terlarut dengan rasa satu sama lainnya, seolah perasaan tersebut terhubung satu dengan lainnya. Ada beberapa hal yang membuat mereka tidak memikirkan jika sa'at itu mereka ditakdirkan untuk berpisah, mereka hanya ingin menciptakan kenangan yang tercipta untuk mereka berdua, suatu sa'at nanti untuk dikenang di hari-hari yang mereka jalani. Jika takdir benar-benar memisahkan kedua insan tersebut.
Terlihat seorang wanita paruh baya tengah menyapu halaman rumah miliknya, menyapu beberapa dedaunan kering yang berjatuhan. Hingga suara seorang perempuan menghentikan kegiatannya
"Ibu" ujar suara perempuan.
Sang wanita paruh baya itu terpaku seketika, sa'at mendengar seorang perempuan yang menggil dirinya dengan sebutan Ibu.
"Avri, Erja, untuk apa kalian kembali?" Ucap nenek Amsa seraya menatap tajam ke arah mereka yang berada tepat dihadapannya.
"Untuk membawa Geya" ungkap Erja seraya membalas tatapan tajam sang ibu yang telah melahirkannya.
"Untuk apa? Kalian tidak menginginkan kehidupannya, apa kalian tidak mengingat upaya pembunuhan yang terus-menerus kalian lakukan pada Mara? Pantaskah orang tua seperti kalian ini merawat sang anak, bahkan orang gila sekalipun tau bagaimana caranya mencintai buah hatinya dengan sepenuh hati"
"Bu, bagaimanapun kami adalah orang tuanya" Kata Avri dengan nada penuh penekanan di setiap perkataannya
"Sampai kalian bawa jalur hukum pun, hukum tau bahwa Mara adalah perempuan dewasa yang bisa menentukan pilihannya"
"Kami tidak akan menyerah untuk membawa Geya, karena dia adalah putri kami"
Perdebatan sengit dari ketiga orang yang berbeda umur itu berlangsung cukup sengit, hingga teriakan dari seseorang mengentikan aksi perebutan mereka.
"Kalian" teriak sang pria tua dari arah kejauhan seraya menunjuk Erja dan Avri yang tengah terkejut melihat kedatangan pria tua itu
"Ay...yah" ucap Avri seraya terbata-bata
Sesampainya pria tua itu dihadapan mereka, tamparan keras yang di layangkan oleh pria tua kepada Erja dan Avri membuat mereka tertunduk takut, bagaimanapun pria tua yang ada dihadapan mereka adalah Ayah mereka, Adiwilaga Sadawira, dia kembali. Seperti mereka berdua yang telah lama menghilang kembali menunjukkan batang hidungnya dihadapan keluarga mereka.
"Untuk apa kalian kembali?"
Pertanyaan yang sama, yang sempat dilontarkan oleh Amsa kepada Erja dan Avri kembali di ucapkan oleh Adiwilaga
"Jangan pernah mengusik ketenangan cucuku, jika hal itu terjadi kalian akan menerima akibatnya. Pergilah dan jangan pernah kembali, apalagi sampai menunjukkan wajah kalian kepada cucu saya, silahkan pergi." Ucap Adiwilaga dengan nada penuh ketenangan hanya saja siapapun tau Adiwilaga bukanlah sosok pria yang seperti itu, jika cara kasar tidak membuat mereka pergi dari hadapan sang cucu maka satu-satunya jalan yang dilakukan Adiwilaga adalah dengan ucapan yang penuh ketenangan. Dan dibalik ketenangan sang Adiwilaga menyimpan beberapa cara untuk menghancurkan mereka.
Dengan gontai, sepasang suami istri itu pergi melangkah jauh dari kediaman sang Ibu, upayanya untuk membawa sang putri tidak menghasilkan apapun itu. Sia-sia mereka jauh-jauh datang jika seperti ini akhirnya, jika bukan karena Adiwilaga maka mereka tidak akan mau pergi dari rumah itu sampai sang putri ikut dengan mereka.
"Kakek" teriak Geya dari ambang pintu.
Adiwilaga yang mendengarkan teriakan sang cucu pun merentangkan tangannya seraya mengatakan, "Kemarilah"
Geya yang mendengarkan ucapan sang Kakek pun bergegas berlari menghampiri sang Kakek dan menghambur kedalam pelukannya. Seakan beban yang dirinya rasakan sa'at ini luruh sudah hanya menyisakan rasa sakit yang membekas dihatinya.
Setelah beberapa menit berlalu Geya mengurai pelukannya dari sang Kakek. Adiwilaga yang melihat tatapan sang cucu pun dengan perlahan membelai lembut pipi sang cucu seraya tersenyum ke arahnya.
"Ikutlah dengan Kakek" pinta Adiwilaga pada sang cucu
"Lalu nenek, bagaimana? Kehidupanku disini bagaimana?" Tanya Geya secara beruntun
"Setelah semuanya membaik, Kakek akan mengembalikan kamu pada nenekmu. Untuk sementara waktu ikutlah dengan Kakek" tutur Adiwilaga seraya membelai surai sang cucu
"Kapan kita akan pergi?" Tanya Geya kembali pada sang Kakek
"Sekarang"
"Aku ingin bertemu dengan seseorang terlebih dahulu. Bisakah mengizinkan ku" pinta Geya dengan harap, bahwa sang Kakek mengizinkannya. Semua yang terjadi sa'at ini benar-benar diluar prediksinya. Kedatangan kedua orang tuanya yang tiba-tiba, hingga sang kakek yang ingin membawanya pergi. Dia benar-benar tidak siap dengan semua itu, terlebih lagi seseorang yang belum mengetahui kepergiannya.
"Tidak Mara, pergilah dengan Kakek sekarang juga. Jika kamu ingin menitipkan bunga padanya, serahkan saja pada Nenek. Biar Nenek yang memberikannya pada Auta"
Bukan sang Kakek yang mengatakan hal itu, melainkan sang Nenek. Harapannya sudah tidak ada, jika sang Nenek sudah berkata tidak itu adalah perintah yang mutlak harus dilakukan.
Adiwilaga yang mendengarkan penuturan sang istripun di buat bingung ketika sang istri yang menyebutkan satu nama asing bagi dirinya, "Siapa Auta, Amsa?" Tanya Adiwilaga
"Dia adalah seorang musisi yang terkemuka di seantero kota ini, pria yang membuat cucu mu ini tersenyum-senyum sendiri ketika mengingat Auta" ucap Amsa seraya tertawa mengejek sang cucu
"Nenek, bukan seperti itu" kilah Geya dengan nada merajuk
"Rupanya sang cucu kesayangan, sudah memiliki kekasih hati ya." Ucap Adiwilaga dengan nada menggoda sang cucu.
Setelah beberapa menit berlalu Geya beranjak pergi dari hadapan mereka untuk membereskan barang-barang miliknya. Sa'at memasukkan buku diary dan beberapa novel miliknya kedalam koper, Geya menghentikan pergerakannya ketika melihat buku diary. Geya melangkahkan kakinya menuju meja yang selalu ia gunakan untuk menuliskan diary, setelah membuka diary tersebut Geya menuliskan beberapa kata sebagai tanda perpisahan kepada sang pria, entah dia akan bertemu kembali atau tidak, sang pencipta lah yang tau.
Setelah menuliskan sederet kata, sepucuk surat yang diletakkan di sela-sela tanaman bunga mawar. Semua barang-barang nya sudah tersusun rapi kedalam koper miliknya, lantas Geya bergegas keluar dari dalam kamarnya menuruni anak tangga seraya membawa dua koper dan satu pot tanaman bunga mawar. Setibanya Geya dihadapan sang Nenek dan Kakek, Geya melepaskan genggamannya pada koper miliknya dan menghambur kedalam pelukan sang Nenek
"Nenek, aku akan merindukan mu. Jaga diri baik-baik aku menyayangimu" ucap Geya seraya melerai pelukan mereka. "Ini, aku minta tolong pada Nenek untuk menyerahkan ini kepada Auta, sampaikan maafku padanya, semua yang terjadi hari ini benar-benar tiba-tiba" ucapnya seraya menyerahkan tanaman bunga mawar kepada sang Nenek. Setelah aksi penuh haru, Geya mengikuti langkah sang Kakek memasuki kedalam mobil sedan yang terparkir di depan pelataran rumahnya. Dirinya akan benar-benar merindukan semua yang ada di kota ini.
"Kakek, kita akan kemana?"
"Swiss, kamu akan tinggal di kota Zurich, kakek sudah mendapatkan perizinan untuk mendarat di bandara kota ini. Itulah sebabnya Kakek meminta kamu untuk ikut sekarang." Ucap Adiwilaga pada sang cucu.
Adiwilaga dan Amsa masing-masing dari mereka tidak pernah berpisah hanya saja mereka telah memiliki kehidupan masing-masing, meskipun diantara mereka masih tetap sendiri. Ego masing-masing yang berakhir dengan saling berpisah tanpa adanya pemutusan bahwa mereka bukan sepasang suami istri lagi.
Setelah 45 menit berlalu, mereka telah tiba di salah satu bandara. Beberapa koper milik Geya telah diturunkan dari bagasi mobil, terlihat dari arah kejauhan seorang pria muda yang mengenakan pakaian pilot dari suatu negara berjalan menghampiri mereka, ketika berada dihadapan mereka pria tersebut mengatakan
"Nice to meet you miss Geya Nismara. Call me Andru" ujar pria yang bernama Andru itu, seraya mengulurkan tangannya pada Geya. Dan mendapatkan sambutan perkenalan dari gadis itu
"Nice to meet you too Andru"
"Please follow me Miss Geya and Mr Adiwilaga, our plane will take off in a moment." Pinta Andru, langkah kaki Geya mengikuti Andru menuju salah satu pesawat yang sedang terparkir dan akan siap lepas landas.
Detik berikutnya pesawat telah lepas landas, dengan Andru yang menjadi pilotnya. Sejauh Gadis itu memandang dirinya hanya dibayang-bayangi oleh kenangan-kenangan yang selama ini menemani perjalanan gadis itu, hingga takdir yang mempertemukan Gautama padanya. Hal yang menyakitkan adalah pergi tanpa pamit, dan Geya mengetahui hal itu. Hanya saja suatu keharusan yang membuatnya tidak sempat menemui sang pria untuk yang terakhir kalinya, karena dirinya tau sang pencipta mempunyai takdir yang indah untuk mereka berdua, entah di pertemukan kembali atau berpisah untuk selamanya menyisakan rasa dan kenangan yang menyeruak hingga berakhir menjadi luka
Baca Juga :
1. Novel Gautama Byakta Episode 1
2. Novel Gautama Byakta Episode 2
3. Novel Gautama Byakta Episode 3
4. Novel Gautama Byakta Episode 4
5. Novel Gautama Byakta Episode 5
6. Novel Gautama Byakta Episode 6
7. Novel Gautama Byakta Episode 7
8. Novel Gautama Byakta Episode 8
9. Novel Gautama Byakta Episode 9
10. Novel Gautama Byakta Episode 10
11. Novel Gautama Byakta Episode 11
12. Novel Gautama Byakta Episode 12
13. Novel Gautama Byakta Episode 13
14. Novel Gautama Byakta Episode 14
18. Novel Gautama Byakta Episode 18
19. Novel Gautama Byakta Episide 19
20. Novel Gautama Byakta Episode 20
21. Novel Gautama Byakta Episode 21
G a u t a m a B y a k t a
Belum ada Komentar untuk "Novel Gautama Byakta : 22. Pergi Tanpa Pamit "
Posting Komentar