Novel Gautama Byakta : 17. Teror?

Novel-Gautama-Byakta-17-Teror


Bolehkah aku menentang ketetapan? Jika semakin hari perasaanku semakin menyeruak.

Novel Gautama Byakta

****


Seharusnya, seharusnya perasaan itu tidak tumbuh ketika fakta membuat hati dan pikiran menjadi bimbang, haruskah menentang ketetapan? Apa yang salah dengan jatuh cinta, bukankah suatu rasa yang tidak bisa dicegah pada siapa akan berlabuh. Mengapa? Ketika hati menjatuhkan pilihannya justru semesta seakan menentang perasaan itu. Dan bukankah jatuh cinta adalah ketetapan dari sang pencipta? Lantas mengapa, seolah-olah jatuh cinta pada dia menjadi sebuah kesalah, ketika usia yang menjadi perbedaan.

Seorang gadis yang tengah berkecimpung dengan berbagai jenis bunga, semerbak harum dari lavender menghiasi seisi ruangan toko bunga itu. Sudah satu jam yang lalu gadis itu disibukkan dengan menyuplai semua kebutuhan jenis bunga di dalam tokonya. Menjadi tempat berlangganan bagi masyarakat sekitar, membuat toko miliknya menjadi digemari karena kualitasnya yang selalu memuaskan.

Geya kembali melangkahkan kakinya menuju tempat kasir, menunggu dengan mendengarkan alunan musik yang menenangkan dan terdengar di berbagai penjuru dalam toko miliknya. Hingga ketukan meja yang berada di depannya membuat ia mendongakkan kepalanya menatap seseorang yang tepat berada dihadapannya. Pria dewasa yang membawa satu ikat bunga mawar merah.

"Berapa harganya?"

"400" ujar Geya seraya tersenyum ramah kepada pria yang berada dihadapannya.

"Bisa menggunakan kartu?"

"Tentu bisa, silahkan isi pin anda"

Setelah menyelesaikan transaksi pria itu kembali menatap Geya dengan lekat, menyunggingkan senyuman yang sulit di artikan.

"Siapa namamu?" Tanya pria itu seraya mengulurkan tangannya

Geya yang melihat hal itu menjabat tangan pria tersebut seraya berkata "Geya"

"Barnajaya, kamu bisa memanggil saya Barna. Senang berkenalan denganmu Geya" ucap pria itu yang memperkenalkan dirinya dengan nama Barnajaya.

Setelah perkenalan tersebut, pria itu pamit undur diri meninggalkan Geya dalam tanda tanya besar, bukankah nama itu terdengar familiar bagi dirinya. Tapi, siapa dia pemilik nama tersebut, tak ingin memusingkan sesuatu hal yang tidak terlalu berharga untuknya Geya kembali berkutat dengan headphone miliknya, berselancar di sosial media hingga berjam-jam lamanya. Meskipun tokonya sudah banyak sekali memiliki pelanggan, hanya saja toko miliknya kerap sekali sepi pengunjung contohnya seperti hari ini.

Suara bunyi lonceng membuatnya terkejut terlebih lagi ketika sang pengirim barang sudah berada tepat di depan mejanya, menyerahkan satu kotak yang bertuliskan toko miliknya. Setelah menyerahkan kotak tersebut, sang pengirim barang tersebut melenggang pergi meninggalkan Geya yang tengah diliputi dengan rasa cemas, takut dan penasaran yang menjadi satu. Tanpa berfikir panjang Geya membuka kotak tersebut, membalutnya melemparkan kotak itu hingga membuat isi dalam kotak berceceran di lantai kayu milik tokonya.

Dengan tangan gemetar Geya menggambil boneka dengan aroma anyir darah yang menyeruak. Tertulis 'Morirai' setelah membaca tulisan tersebut Geya bergegas membereskan semua kekacauan yang diperbuatnya karena reaksi rasa terkejutnya. Setelah memasukkan semua kedalam kotak kembali, Geya meletakkan kotak tersebut tepat dibawah meja kasir miliknya. Ia berharap jika hal yang dirinya takutkan tidak benar-benar terjadi, dia tidak ingin bernasib sama dengan sahabatnya itu hingga berakhir tragis.

Setelah menenangkan dirinya, Geya mengambil satu kotak just buah dalam kemasan, meminum just tersebut untuk menghilangkan sisa-sisa rasa ketakutannya. Jika seperti ini, dia tidak ingin pulang ke rumahnya terlebih hanya dia sendiri didalam rumah tersebut. Iya, dia sudah memutuskan kembali ke rumahnya sa'at setelah menginap satu hari satu malam di kediaman Gautama, setelah itu dengan keputusannya dia kembali ke rumahnya meskipun sa'at itu mendapatkan pertentangan dari sang pemilik rumah untuk memintanya tetap tinggal bersamanya sampai sang Nenek kembali. Hanya saja semua itu sia-sia ketika Geya tetap dengan pendiriannya, dan berakhirlah teror yang dirinya dapatkan kembali, teror yang sama sa'at sebelum kepergian sang sahabat.

Dilain sisi, terlihat seorang wanita muda tengah menyesap koktail seraya melirik sekilas pada pria yang berada di sampingnya. Setelah minuman tersebut tandas gadis itu melemparkan glasses tersebut menghantam dinding yang ada dalam ruangan, membunyikan suara yang cukup keras hingga membuat sang pria terkejut. Di tatapnya dengan tajam gadis itu seraya berkata "GILA!"

"Siapapun akan menjadi gila, ketika cintanya tidak terbalaskan, satu penghalang sudah ku lenyapkan bertambah lagi satu, mereka berdua memang sama, sama-sama mengusik ketenangan diriku." Ujar gadis itu seraya menatap tajam dua poto seorang gadis kecil yang tertempel di dinding tersebut.

"Bukankah semua kekacauan terjadi penyebabnya adalah dirimu, kamu sendiri yang menyebabkan kekacauan tersebut. Hingga hukum yang berpihak pada kesalahan hanya karena kekuasaan, sadarlah!" Ujar pria itu dengan nada penuh amarahnya, dia tidak akan menyangka jika sang adik semata wayangnya berubah menjadi gadis yang penuh dengan ambisi, meskipun dia sama seperti sang adik hanya saja dia melakukan hal tersebut hanya pada mereka yang mengusik bisnisnya, tidak pada mereka yang tidak memiliki kesalahan pada dirinya. Segala cara sudah pria itu lakukan agar sang adik kembali seperti semula, nyatanya hal itu hanyalah khayalannya saja. Terlebih beberapa bulan yang lalu dirinya mendapatkan kabar bahwa sang adik melakukan sesuatu hal yang tidak pernah terpikirkan oleh pria itu.

"Jangan munafik! Kaka sama seperti diriku"

"Berbeda, aku melakukan hal itu pada mereka yang benar-benar memiliki kesalahan padaku bukan seseorang yang tidak bersalah"

"Dan dia memiliki kesalahan itu, dia mendekati milikku" sentak gadis itu seraya menatap tajam pria yang ada dihadapannya, tanpa gadis itu duga pria yang ada dihadapannya melayangkan tanganya menampar pipi gadis itu

Plakk

"Sadarlah. Semua itu sudah ketetapan sang pencipta"

"Pendosa sepertimu tidak pantas mengingat Tuhan" ujar gadis itu melenggang pergi dari hadapan sang pria yang ia panggil sebagai Kaka.

"Tari!" Teriak pria itu memanggil nama sang adik, hanya saja teriakan itu tidak diindahkan oleh sang gadis.

Dia berharap bahwa sang pencipta mengampuni semua dosa-dosa yang telah dia dan sang adik perbuat.


****


Geya menyusuri jalan yang terlihat sunyi, padahal jam masih menunjukkan sekitar pukul 21.00 malam seharusnya jalan yang ia lalui masih ramai oleh muda mudi yang tengah di mabuk cinta. Akan tetapi tidak dengan hari ini, setelah mendapatkan teror kini Geya dihadapkan dengan kesunyian membuat hatinya dilanda dengan rasa gelisah.

Ketukan sepatu pantofel mengikuti langkah Geya membuat gadis itu mengehentikan langkahnya seketika, pasalnya sa'at ini dia mengenakan flatshoes bukan pantofel, itu berarti seseorang berada tepat dibelakangnya mengikuti langkah Geya. Dengan kebenaran yang dia miliki Geya membalikkan tubuhnya menghadap sumber suara. Matanya menatap tajam seseorang yang berada dihadapannya, seorang perempuan terlihat dari postur tubuhnya yang mengenakan pakaian hitam, topi, masker dan pisau yang tepat berada ditangan kiri gadis itu membuat tubuh Geya bergetar seketika, perempuan itu adalah perempuan yang sahabatnya ceritakan sebelum dia meregang nyawa.

Dengan langkah perlahan Geya memundurkan langkahnya dan terlihat gadis itu semakin maju menuju arahnya. Dalam hitungan ke-tiga Geya berlari dari sang perempuan itu, teriakan minta tolong dari Geya tidak didengarkan oleh mereka, keputusasaan yang ia rasakan menghantui dirinya ia benar-benar tidak ingin bernasib sama dengan sahabatnya. Terbunuh secara tragis dan terang-terangan dihadapan keluarganya.

Aksi mengejar-ngejar pun terjadi, seiring berlarinya Geya dia selalu merapalkan do'a pada sang pencipta agar terselamatkan dari mau yang tenang mengincar dirinya.

"Siapapun Tuhan, tolong bantu aku." Pinta Geya dalam hatinya pada sang pencipta, berharap sang pencipta mendengar do'a darinya. Hingga tanpa sadar arahnya membawa dia menuju jalan buntu, terlihat dinding dihadapannya. Dia benar-benar kalut dan takut terlebih lagi ketika dia membalikkan tubuhnya terlihat perempuan didepannya itu sudah menodongkan pisau di depan matanya, hanya tersisa jarak satu jengkal saja pisau itu akan tertancap pada wajahnya.



Baca Juga :

1. Novel Gautama Byakta Episode 1

2. Novel Gautama Byakta Episode 2

3. Novel Gautama Byakta Episode 3

4. Novel Gautama Byakta Episode 4

5. Novel Gautama Byakta Episode 5

6. Novel Gautama Byakta Episode 6

7. Novel Gautama Byakta Episode 7

8. Novel Gautama Byakta Episode 8

9. Novel Gautama Byakta Episode 9

10. Novel Gautama Byakta Episode 10

11. Novel Gautama Byakta Episode 11

12. Novel Gautama Byakta Episode 12

13. Novel Gautama Byakta Episode 13

14. Novel Gautama Byakta Episode 14

















G a u t a m a B y a k t a



Belum ada Komentar untuk "Novel Gautama Byakta : 17. Teror?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel