Novel Gautama Byakta : 6. Genggaman Tangan
Kemanapun aku melangkah ingin rasanya kamu berada disampingku, akan aku nyanyikan setiap waktu saat kamu berada disampingku.
Prosa yang tercipta semuanya tentang dirimu.
Baca Juga
Gautama Byakta
****
Setibanya Gautama di meja dirinya dan Geya tempati, terlihat raut wajah cemas Geya.
Seraya menautkan jari jemarinya Geya berucap "Gau. Kamu bisa mengantarkan aku pulang nanti?" Tanya Geya dengan nada hati-hati, ia takut Gautama menolak permintaan dari dirinya, jika itu terjadi ia benar-benar bingung dengan siapa dirinya pulang, pasalnya malam yang semakin larut.
"Saya bertanggung jawab sepenuhnya atas dirimu." Ucap Gautama seraya tersenyum dan mengacak surai gadis yang berada tepat dihadapannya
"Penampilan kalian di atas panggung tadi benar-benar spektakuler. Terlihat dari antusias semua para pengunjung."
"Mara, penampilanmu lebih indah, hingga mampu menciptakan suasana yang begitu syahdu."
Mendengar hal itu Geya tersenyum manis seraya berkata "Kopi mu sudah dingin"
"Biarkan saja, yang terpenting kamu menikmati suasana dan terhibur"
Dibawah langit rembulan malam, dua atma yang tengah berbagi canda dan tawa tanpa memperdulikan sekeliling mereka. Terlebih lagi gadis yang sempat bernyanyi tadi rupa-rupanya adalah gadis yang sang penyanyi tuju pada lagu pertama yang di bawakan olehnya.
Beberapa jepretan kamera yang mengambil beberapa Poto dari mereka, entah untuk tujuan apa mereka bertingkah seperti itu. Menggemparkan publik dengan sekandal-sekandal yang mereka buat untuk meramaikan akun laman pribadinya.
"Ekhmm, Senyuman terlukis di wajahmu" ucap Caka mengejutkan mereka berdua
"Di saat ku mengingat kamu" imbuh Omka yang melanjutkan lirik lagu dari Caka, seraya menyederkan lengannya di bahu Lambuyan
"Tawamu, manjamu, membuatku rindu
Tak sabar ingin bertemu" balas Lambuyan, yang berakhir dengan gelak tawa dari mereka bertiga yang tengah memberikan sindiran pada Gautama perihal lagu yang pertama.
"Kalian ini, lebih baik pulang" ujar Gautama yang ditunjukkan untuk ketiga temannya
"Kamu ini yang pulang Gau, membawa anak gadis orang sampai larut malam" ujar Lambuyan, mendengar hal itu membuat Gautama seketika langsung mengecek jam yang bertengger di pergelangan tangan kirinya, ternyata memang benar apa yang dikatakan oleh Lambuyan padanya. Dengan sigap Gautama menggenggam tangan Geya "Mara, kita pulang"
Mendengar hal itu, Geya pun beranjak mengikuti langkah Gautama yang masih saja menggenggam erat tangannya. Meninggalkan ketiga pria yang tengah menatap kedua manusia itu dengan tatapan tak percaya, bahwa keberadaan ketiga pria itu benar-benar tidak di perdulikan oleh temanya.
"Ck. Teman kita tuh kalau jatuh cinta tiba-tiba lupa sama temanya" ujar Omka seraya berjalan pergi meninggalkan kedua temanya
"Anak Set-"
"Hust. Omongan kamu itu Cak" tegur Lambuyan pada Caka
Udara sudah mulai cukup dingin terlebih lagi suhu udara sa'at ini benar-benar mencapai 33 derajat Celcius.
Usapan demi usapan yang dilakukan oleh Geya untuk menghangatkan tubuhnya, terlebih lagi dirinya hanya menggunakan pakaian tipis sa'at ini. Hingga suara bersin dari Geya menghentikan langkah Gautama
"Hacih. Ah maaf" ucap Geya seraya mengusap-usap hidungnya yang sudah terlihat memerah.
Melihat hal itu, lantas Gautama melepaskan hoodie miliknya lalu menyerahkan hoodie hitam pada Geya, dengan ragu Geya menerima hoodie yang diberikan oleh Gautama.
Hoodie yang berwarna hitam, dengan tulisan Byakta yang berda tepat di sebelah kanan atas, hoodie yang sengaja dipesankan khusus oleh dirinya.
Setelah menerima hoodie dari Gautama, Geya langsung saja berbalik badan untuk memakai hoodie tersebut. Harum bau parfum yang menyeruak menusuk Indra penciumannya, harum yang begitu menenangkan.
"Ayo jalan" ucap Gautama seraya kembali menggenggam tangan Geya.
****
Hari demi hari telah berlalu, silih berganti bulan berdatangan lalu bergantian pergi. Kedekatan antara Gautama dan Geya semakin intens, menyisakan tanda tanya besar dalam benak mereka yang berada di sekeliling Gautama dan Geya, apa hubungan dua orang yang berbeda itu.
"Auta, beberapa bulan lalu kamu berada dimana?" Tanya Pramudya pada cucunya itu, seraya menyesap kopi hitam miliknya. Saat dirinya berkunjung ke kediaman sang cucunya itu, saat beberapa bulan lalu, dia tidak melihat keberadaan sang cucu yang sedang berada di rumah, hingga harus membuatnya menunggu. Gautama yang tak kunjung kembali membuat Pramudya harus pergi tanpa memberikan kabar bahwa dirinya akan berada di negara Turki untuk beberapa bulan lamanya, dan sa'at dirinya pulang tepat pada saat ini. Pertanyaan yang dulu sempat ia simpan akhirnya terjawab sudah saat dirinya datang berkunjung kembali.
"Kafe ujung jalan."
"Dengan Mara?" Tanya Pramudya, menerka-nerka dengan siapa sang cucu pergi
"Iya, dengan dia" ujar pria itu seraya menyesap kopi hitam miliknya. Benar-benar mewarisi dirinya, pikir Pramudya.
"Kamu mendapatkan pukulan ketika mengantarkan Mara pulang, dari ayahnya?"
"Tidak, Mara hanya tinggal dengan neneknya. Kedua orang tuanya pergi meninggalkan dia karena kehadirannya tidak diinginkan oleh kedua orangtuanya."
"Mereka akan menyesal saat tua nanti."
"Sama seperti Kakek" ucap Gautama seraya tersenyum miring
"Adhikari Mahatma, ayahmu itu memiliki jiwa besar. Dia selalu ingin mencapai kesuksesan dengan caranya dan usahanya sendiri, dan Naladhipa. Ibumu adalah jantung hati yang menerangi ayahmu hingga dirinya tidak bisa menolak maupun mencegah ayahmu."
"Dan Meera dan diriku yang harus menanggung semua akibatnya."
"Bagaimanapun perlakuannya, Atma adalah ayahmu"
Setelah mengatakan hal itu, Pramudya meninggalkan cucunya itu. Entah untuk bernostalgia pada kenangan bahagia atau justru bernostalgia dengan lukanya.
Saat Pramudya kembali menghampiri keberadaan cucunya seraya membawa cemilan untuk dinikmati bersama, langkahnya terhenti seketika saat dirinya melihat sang cucu dengan langkah gontai berjalan masuk kedalam kamarnya, "anak muda, pagi tidur malam bekerja." Ucapnya seraya terkekeh
Saat Pramudya kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti, Pramudya kembali menghentikan langkahnya ketika suara bel berbunyi. Pramudya pun memutar langkahnya berjalan kearah pintu untuk melihat siapa yang berkunjung ke rumah cucunya.
Setelah membukakan pintu, Pramudya terheran ketika melihat seseorang gadis yang mengenakan dress bermotif bunga, rambut lurus yang bergelombang dengan hiasan tipis diwajahnya, seperti perempuan yang Pramudya lihat di serial Drama Korea yang sempat dirinya lihat akhir-akhir ini ketika berada di kediaman cucunya.
"Permisi, ada Auta-nya?" Tanya Geya pada pria paruh baya yang berada dihadapannya saat ini.
"Sedang tertidur"
"Saya ingin mengembalikan hoodie miliknya yang sempat Auta pinjamkan beberapa bulan lalu, maaf baru sempat mengembalikan nya karena saya melupakan hoodie miliknya dan berakhir dengan melupakan untuk mengembalikannya, pasalnya Auta tidak pernah menanyakan hoodie miliknya hingga membuat saya menjadi lupa."
Mendengar penjelasan Dari gadis yang berada dihadapannya ini, Pramudya tertuju pada satu nama gadis yang sedang dekat dengan cucunya
"Mara?" Tanya Pramudya yang langsung mendapatkan senyuman dari gadis yang berada dihadapannya
"Geya Nismara"
"Saya Pramudya Prawara, Kakek dari Gautama Byakta."
"Silahkan masuk" ucap Pramudya seraya mempersilahkan Geya untuk masuk kedalam rumah.
"Kamu ingin dibuatkan apa? Biar bibi yang berada disini membuatkannya"
"Teh saja pak,"
"Panggil saya Kakek, sama seperti Auta"
Melihat gadis yang berada dihadapannya saat ini adalah gadis yang menarik perhatian sang cucu, lantas Pramudya mengajaknya untuk berbincang-bincang di halam rumah belakang.
"Mari, ikuti Kakek yang ingin bertanya padamu" ucap Pramudya yang berjalan terlebih dahulu lalu diikuti oleh Geya
Setibanya Geya dihalaman belakang, dirinya dibuat takjub oleh pemandangan yang benar-benar menyejukkan mata. Berbanding jauh saat gadis itu yang menempati rumah ini,
"Auta sering menceritakan tentang dirimu"
"Aku merasa sangat tersanjung mendengar penuturan dari kakek" ujarnya seraya terkekeh
"Kakek sangat senang ketika mengetahui satu-satunya cucu kesayangan sedang dekat dengan seorang gadis."
"Memangnya selama ini, Auta tidak pernah dekat dengan seorang perempuan?" Tanya Geya penasaran
"Bukan, selama ini perempuan-lah yang mendekatkan dirinya pada Auta. Dan itu berbeda dengan kamu, Mara"
Mendengar hal itu, Geya merasakan perasaan bahagia yang menghampirinya. Ada rasa senang ketika Gautama lah yang mendekati dirinya. Hanya saja perasaan risau kerap menghampiri, terlebih fakta bahwa Gautama adalah pria yang disukai oleh banyaknya wanita.
Kerap kali, perasaan takut akan sesuatu selalu menghampiri diri manusia. Tanpa memikirkan bahwa itu hanyalah sebuah fatamorgana, adanya kilasan-kilasan masalalu yang masih saja mengikuti kemanapun langkah manusia pergi.
Novel Gautama Byakta.
G a u t a m a B y a k t a
Belum ada Komentar untuk "Novel Gautama Byakta : 6. Genggaman Tangan "
Posting Komentar