Novel Gautama Byakta : 14. Pilu

Novel-Gautama-Byakta-14-Pilu


Aku ikut merasakan terluka ketika dirimu terluka.

Novel Gautama Byakta

****


Suasana gelap melingkupi ruangan yang di tempati oleh dua sosok manusia yang berbeda itu, tangisan yang penuh ketakutan terdengar dari dalam ruangan. Terlebih lagi petir yang masih saling bersautan, membuat suasana semakin bertambah mencengkem.

"Syutt, tenanglah Mara, ada saya di sini bersamamu" ucap Gautama seraya mengusap surai milik gadis itu.

Setelah tangis Geya yang mereda, Gautama menuntun Geya untuk berjalan menuju sopa, biarlah malam ini mereka tertidur di atas sopa. Tidak mungkin bagi Gautama menempati satu tempat tidur yang sama dengan Geya.

"Mara, apa yang membuatmu terjaga dan menangis pilu seperti itu?" Tanya Gautama pada Geya. Geya yang mendengarkan perkataan Gautama, sedikit menghela nafas panjang, lalu setelah menata perkataan dirinya untuk menjawab pertanyaan dari pria yang berada disampingnya.

"Trauma. Trauma yang diberikan oleh mereka yang berstatus sebagai orang tua, nyatanya merekalah yang memberikan rasa trauma"

"Ingin bercerita?" Tanya Gautama pada Geya, pencahayaan yang minim membuat pandangan Geya pada Gautama sedikit samar-samar. Terlebih lagi pencahayaan itu hanya datang dari headphone milik Gautama   yang dilapisi dengan hoodie miliknya.

"Tidak, aku ingin kamu bernyanyi untukku." Ucap Geya membuat Gautama terkekeh seketika.

"Kamu sedang bercanda Mara. Bagaimana bisa di tengah hujan seperti ini kamu meminta saya untuk bernyanyi" ujar Geya seraya bangkit dari sopa berjalan menuju gitar miliknya yang tersandar pada dinding di ujung ruangan. Setelah mengambil gitar tersebut Gautama kembali menghampiri Geya, "Lagu apa yang ingin kamu dengar" kata Gautama seraya memulai intro, memetik senar gitarnya mengalunkan suara yang menenangkan di tengah derasnya air hujan yang turun dengan lebatnya.


"Penjaga Hati dari Ari Lasso"


Tak pernah aku impikan
Betapa beratnya meruntuhkan hatimu
Lama sudah ku menunggu
Seutas harapan tulus cintamu


Tak pernah aku impikan
Betapa beratnya meruntuhkan hatimu
Lama sudah ku menunggu
Seutas harapan tulus cintamu


Takkan kutemui
Wanita sepertimu
Takkan kudapatkan
Rasa cinta ini


Reff:
Kubayangkan bila engkau datang
Kupeluk bahagia kan aku
Kuserahkan seluruh hidupku
Menjadi penjaga hatimu


Sering kali kutemukan
Mahkota bertabur intan permata
Meski aku telah terbiasa
Tambatkan hatiku pada wanita oh


Takkan kutemui
Wanita sepertimu
Takkan kudapatkan
Rasa cinta ini

Gautama melirik sekilas Geya yang tengah tertidur di bahunya, nyatanya dirinyalah yang bergantian terjaga. Setelah menyelesaikan lagu ini Gautama akan menyusul Geya memasuki alam mimpi, dia yang terbangun karena teriakan dari Geya mengambil waktu tidurnya yang semakin hari semakin sedikit, mengingat pekerjaan miliknya yang mengharuskan ia memiliki waktu tidur yang tidak cukup untuk tubuhnya.


Reff:
Kubayangkan bila engkau datang
Kupeluk bahagia kan aku
Kuserahkan seluruh hidupku
Menjadi penjaga hatimu

Kubayangkan bila engkau datang
Kupeluk bahagia kan aku
Kuserahkan seluruh hidupku
Menjadi penjaga hatimu

Kubayangkan bila engkau datang
Kupeluk bahagia kan aku
Kuserahkan seluruh hidupku
Menjadi penjaga hatimu....

Setelah menyelesaikan lagunya, Gautama meletakkan gitar miliknya di atas meja yang tepat berada dihadapannya, lalu membenarkan posisi Geya agar sa'at gadis itu bangun tidur tidak mengalami sakit pada bagian lehernya. Setelah menempatkan Geya di atas ranjang tempat dia mendapatkan perawatan. Gautama mendorong sopa dari tempat biasanya menuju letak ranjang milik Geya, dirinya akan tidur di sopa, tepat dibawah ranjang yang Geya tempati. Seharusnya Gautama berterimakasih kepada sang pencipta karena sopa tersebut memiliki roda tepat dibawahnya sehingga memudahkan dia untuk meletakkan sopa tersebut disamping ranjang tempat Geya.


****

Baca Juga : Novel Gautama Byakta Episode 1

Sinar matahari menerobos masuk melewati celah-celah tirai yang sedikit terbuka, ketukan pintu dari luar kamar membangunkan sang pria yang tengah tertidur. Diliriknya jam yang melingkar di pergelangan tangannya membuatnya sedikit tersentak ketika melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi, dimana seharusnya Geya sudah diperbolehkan untuk pulang. Suara ketukan untuk yang kesekian kalinya membuat Gautama tersadar kembali dari lamunannya, bergegas dirinya menuju pintu tersebut.

Ceklek

Suara pintu terbuka dari arah dalam kamar, membuat seorang perawat perempuan terhenyak ketika melihat seorang pria yang tepat berada dihadapannya, pria dengan rambut yang acak-acakan, baju yang terlihat kusut terlebih lagi penampilan sang pria yang menggunakan kaos berwarna putih yang terlihat pas di tubuh sang pria dengan celana kain stretch empat sisi dan dipadukan dengan sepatu sneakers berwarna senada dengan warna baju sang pria. Kombinasi yang terlihat sangat pas di tubuh sang pria, terlebih lagi penampilan, bentuk tubuh dan wajah menambah ketampanan sang pria membuat sang perawat terpaku menatap sang pria.

"Ehemm"
Hingga suara deheman sang pria menyadarkan sang perawat perempuan membuat perawat tersebut salah tingkah

"Permisi pak, saya akan mencabut selang infus pasien, karena hari ini pasien sudah diperbolehkan untuk pulang. Dan untuk penebusan obatnya bisa di ambil setelah menyelesaikan administrasi." Ucap perawat tersebut lalu masuk kedalam ruangan mengucapkan selamat pagi pada Geya yang tengah terduduk diatas ranjang.

Setelah menyelesaikan tugasnya perawat tersebut berpamitan kepada mereka, kembali meninggalkan mereka berdua.

"Kita pulang" ucap Gautama seraya membereskan barang-barang mereka. Setelah menyelesaikan semuanya Gautama menggenggam erat tangan Geya dan berjalan menuju tempat administrasi.

Beberapa perawat dan pasien yang berlalu lalang di sepanjang lorong rumah sakit, menatap mereka dengan tatapan yang memuja. Terlebih lagi tatapan itu tertuju pada Gautama, hingga sa'at mereka menatap pergelangan tangan Gautama yang menggenggam erat tangan Geya membuat mereka berdecak kesal, sa'at mengetahui sang pria telah memiliki kekasih.

"Sepanjang kita berjalan banyak sekali pasang mata yang memandang mu" ucap Geya

"Justru hal itu membuat saya takut Mara" ujar Gautama semakin erat menggenggam tangan Geya

"Apa yang membuatmu takut dengan tatapan memuja dari mereka yang ditujukan untukmu" ucap Geya kembali, mengentikan langkah mereka. Melepaskan genggaman tangan Geya dari genggaman tangannya lalu membalikkan tubuhnya menghadap Geya dengan tatapan lekatnya seraya mengusap surai Geya, Gautama berucap, "Justru karena tatapan mereka padaku membuatku takut, jika hal itu membuatmu marah padaku karena mereka yang memandangku dengan tatapan yang memuja." Ucap Gautama diakhiri dengan senyuman manisnya, lalu kembali menggenggam tangan Geya bertambah erat dan melanjutkan kembali langkah mereka yang sempat terhenti.

Setelah menyelesaikan administrasi Geya dan Gautama kembali berjalan menuju mobil yang Gautama bawa sa'at dirinya mendapatkan telepon dari temanya.

Setelah mereka masuk kedalam mobil, Gautama menyalakan mesin mobil lalu melaju dari parkiran rumah sakit membelah jalanan yang cukup padat siang ini. Jarak rumah Geya rumah sakit cukup memakan waktu sekitar 25 Menit. Beberapa pemandangan di sepanjang jalan membuat Geya kembali mengingat sambaran petir malam tadi pada salah satu tiang listrik yang berada tepat di sebrang arah rumah sakit sehingga menimbulkan dentuman cukup kencang.

"Semalam hujan cukup deras hingga menimbulkan semua ini." Ujar Geya tanpa mengalihkan arah pandanganya pada beberapa pepohonan yang terlihat berjatuhan sehingga menimbulkan kemacetan lalulintas.

"Bukankah semua itu sudah jelas dari sang pencipta yang ingin membuat para manusia sadar akan dirinya."

"Maksudnya?" Tanya Geya seraya mengalihkan atensi sepenuhnya oada Gautama yang terlihat sedang fokus mengendarai mobil

"Bukankah semua itu membuat manusia sadar akan adanya sang pencipta dan tidak berperilaku semaunya sendiri" kata Gautama dengan nada tegasnya, ada sorotan tajam dari mata pria yang berada disampingnya seakan mengatakan tentang kebencian dan rasa sakit.

Dengan perjalanan yang cukup panjang, tibalah Geya di depan halaman rumahnya. Terlihat sang Nenek yang tengah menyusun beberapa tanaman yang berserakan. Melihat hal itu Geya lantas bergegas membuka pintu mobil lalu berlari menuju sang Nenek seraya mengatakan

"Nenek, ada apa semua ini" ucapnya sa'at berada tepat dihadapan sang Nenek. Mendengar hal itu, Asma mendongakkan kepalanya menghadap gadis yang berada dihadapannya, melihat sang cucu yang telah kembali Amsa menarik tubuh sang cucu, mendekap erat tubuh gadis kecil kesayangannya.

"Nenek"
Mendengar ucapan dari Gautama, Amsa melerai pelukannya pada sang cucu, beralih menatap dengan senyumannya yang terpatri diwajahnya perempuan yang sudah terlihat tua itu

"Auta, terimakasih sudah menjaga Mara. Kamu ingin bertemu terlebih dahulu?" Ucap Amsa pada Gautama

"Tidak Nenek, saya ke sini hanya untuk mengantarkan Mara dan memastikannya dia baik-baik saja. Saya harus pergi, ada pekerjaan yang tidak bisa saya tinggalkan. Dan kamu Mara, patuhilah perintah-perintah untuk kesembuhan dirimu. untuk itu saya pamit undur diri, mari Nenek, Mara." Ujarnya lalu melenggang pergi dari hadapan Amsa dan Geya, menyisakan Geya yang menatap punggung Gautama dengan senyuman yang terpatri diwajahnya, membuat Amsa ikut tersenyum sa'at melihat sang cucu tersenyum.

Baca Juga :

1. Novel Gautama Byakta Episode 1

2. Novel Gautama Byakta Episode 2

3. Novel Gautama Byakta Episode 3

4. Novel Gautama Byakta Episode 4

5. Novel Gautama Byakta Episode 5

6. Novel Gautama Byakta Episode 6

7. Novel Gautama Byakta Episode 7

8. Novel Gautama Byakta Episode 8

9. Novel Gautama Byakta Episode 9

10. Novel Gautama Byakta Episode 10

11. Novel Gautama Byakta Episode 11

12. Novel Gautama Byakta Episode 12

13. Novel Gautama Byakta Episode 13













G a u t a m a B y a k t a



Belum ada Komentar untuk "Novel Gautama Byakta : 14. Pilu"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel