Novel Gautama Byakta : 2. Setangkai Bunga Mawar
Bunga mawar berwarna pink, melambangkan rasa terimakasih dan penghargaan.
Gautama Byakta.
Baca Juga
****
Sa'at memasuki apartemen miliknya, Gautama mengedarkan arah pandangnya, mencari-cari sesuatu untuk tempat bunga mawar yang diberikan gadis itu padanya, setelah membuka lemari tempat penyimpanan alat makan dirinya, dia terpokus pada salah satu glass yang menurutnya sa'at ini benar-benar pas untuk dijadikan sebagai tempat penyimpanan bunga mawar, Hurricane glass setelah mengisi glass tersebut dengan air dan memasukan setangkai bunga mawar kedalamnya, Gautama kembali melangkahkan kakinya menuju ruang tamu dan meletakkan bunga tersebut di atas meja ruang tamu. Seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada, Gautama kembali memandangi bunga tersebut dengan raut wajah bingungnya. Selama ini, tidak ada satu orang pun yang memberikannya bunga, dan sa'at ini dirinya menerima setangkai bunga mawar berwarna pink, entah apa yang di berikan sang pencipta padanya ia hanya akan menjaganya tanpa berniat untuk membuangnya.
****
Suara ketukan pintu yang cukup bising sekali terdengar, membangunkan si pemilik apartemen. Tiga orang pria muda dengan gaya casual dan tas ransel yang bertengger manis di masing-masing ketiga bahu pria itu, tak mendapatkan respon apapun dari sang pemilik apartment mereka bertiga tidak kehilangan akal, beberapa sandi mereka masukan, meskipun berulang kali di coba sandi yang selama ini mereka ketahui tetap gagal untuk dimasukkan.
Sinar matahari yang menerobos melalui celah-celah tirai yang tak tertutup rapi, membuat si pemilik kamar merasa terusik terlebih lagi suara ketukan pintu yang cukup mengganggunya, setelah merenggangkan kedua tangannya Gautama beranjak dari tempat tidur miliknya lalu bergegas menuju pintu untuk membukakan pintu yang sedari tadi terus-menerus di ketuk.
Setelah memasukkan sederet sandi, menampilkan tiga orang pria yang berwajah masam melihat si pemilik tempat baru saja terbangun dari tidurnya. Setelah membukakan pintu untuk teman-temannya Gautama melangkahkan kakinya menuju kamar miliknya untuk bergegas bersiap-siap.
Sa'at ketiga pria tersebut mengedarkan arah pandangnya mereka sama-sama terpokuskan pada setangkai bunga mawar berwarna pink yang tepat berada di atas meja tamu.
"Siapa yang memberikan dia bunga?" Ucap salah satu di antara ketiga pria itu.
"Mungkin saja Tari"
"Kalau itu dari Tari, sudah di bunganya sa'at detik itu juga."
Setelah menerka-nerka siapa yang memebrikan setangkai bunga tersebut, mereka dikejutkan dengan suara Gautama yang menyadarkan mereka dari lamunannya.
"Ngapain kalian bawa-bawa tas?" Tanya Gautama pada mereka dengan raut wajah kebingungan
"Ide Lambuyan sama Omka buat tinggal di sini"
Mendengar penuturan dari temanya sedikit membuat Lambuyan merasa tidak terima, pasalnya mereka bertiga sudah menyetujuinya
"Jangan lupa bahwa kamu juga setuju Cak" ucap Lambuyan pada Caka
Mendengarkan hal itu, Gautama lebih memilih menempati sopa miliknya seraya menyenderkan tubuhnya dan menatap lekat ke arah bunga mawar yang diberikan oleh seseorang padanya.
"Gau, dari siapa bunga itu" ucap Lambuyan seraya ingin menyentuh bunga tersebut, mengetahui hal itu dengan cepat Gautama mengentikan Lambuyan yang akan menyentuh kelopak bunga mawar miliknya
"Jangan sentuh, siapapun jangan sentuh bunga itu." Ucap Gautama pada mereka, semakin membuat ketiga pria itu penasaran pada seseorang yang telah memberikan setangkai bunga mawar berwarna pink itu pada teman mereka.
"Sudah selesai urusan dengan Tari dan Ibas Gau?" Tanya Omka yang sedari tadi hanya menjadi penyimak obrolan teman-temannya....
"Sudah," ucap Gautama seraya menatap ke arah Omka
"Dapat uang dari mana Gau" timpal Caka, dirinya mengetahui persoalan yang sedang dihadapi temanya itu. Mengingat mereka semua sudah berteman sejak masa sekolah menengah pertama hingga sampai sa'at ini
"Dari pak Tua?" Tanya Lambuyan pada Gautama, mendengar perkataan-perkataan dari ketiga temannya itu, membuat Gautama hanya melakukan respon diam, setelah cukup lama Gautama pun memberikan penjelasan pada teman-temannya seraya berkata
"Apartemen ini sudah di jual." Ujarnya yang mendapatkan tatapan terkejut dari ketiga temannya
"Terus, kamu tinggal dimana Gau?" Tanya Omka yang tak habis pikir dengan jalan pemikiran temanya ini, hanya inilah aset yang sa'at ini Gautama punya, dan banyak sekali kenangan yang ada di apartemen milik Gautama.
"Tinggal di kosan, untuk sisa uangnya bisa untuk membeli satu rumah minimalis. Meskipun hal itu, pilihan kosan sa'at ini menjadi daya tarik tersendiri." Ucap Gautama seraya terkekeh....
"Memangnya siapa yang mau membeli dengan harga tinggi?" Tanya caka penasaran
"Siapa lagi kalau bukan pak Tua" Ucap Gautama pada mereka semua seraya terbahak-bahak melihat reaksi dari ketiga temannya
"Sialan" Kata Caka dengan nada mencibir
"Kapan kamu akan pindah Gau?" Tanya Lambuyan
"Besok, dan lusa kita bertemu Tari dan Ibas, kalian menjadi saksi bahwa saya sudah melunasi hutang kedua orang tua saya" ujar Gautama pada mereka semua yang mendapatkan anggukan dari mereka.
Malam telah tiba, suasana terang dari cahaya rembulan dan taburan bintang yang terlihat sangat indah. Sa'at ini ke empat pria itu, sedang menikmati alunan musik dari kafe yang mereka singgahi. Canda dan tawa mereka lontarkan, hingga melupakan luka yang tengah dirasa. Sejenak mengalihkan rasa sakit yang ada, hingga setelah tersadar kembali dengan apa yang sedang dirasa. Tepat malam Minggu, malam dimana sejenak aktifitas biasanya dihentikan dan sa'atnya menikmati suasana yang ada, menjadikan malam Minggu sebagai pelampias atas lelahnya menjalani hidup dan mencari-cari pundi-pundi rupiah....
"Cabut dulu" ucap Gautama pada ketiga temannya, tanpa menunggu persetujuan dari temanya Gautama sudah terlebih dahulu melangkahkan kakinya menuju suatu tempat. Setibanya dari arah kejauhan terlihat salah satu tempat masih terang. Itu berarti si pemilik tempat tersebut masih berada di dalam. Sa'at Gautama melangkahkan kakinya mendekati tempat itu, tanpa dirinya sadar ketiga temannya sudah sedari tadi mengikuti kemana pria itu pergi, dengan langkahnya yang perlahan....
Terlihat dari luar bahwa gadis itu sedang bersiap-siap untuk menutup tokonya, sa'at gadis itu membalikkan tubuhnya gadis itu sempat terkejut ketika melihat Gautama yang tengah memandang ke arahnya. Dengan langkah perlahan dan pasti, gadis itu menghampiri Gautama yang berada di luar tokonya, setelah berada dihadapan Gautama gadis itu berucap
"Sedang mencari sesuatu?" Tanya gadis itu pada Gautama
"Iya, mencari rumah"
"Jangan bilang kamu...." Ucapnya menggantungkan kalimatnya
"Rumah untuk saya beli" ujar Gautama seraya terkekeh, mendengar ucapan Gautama gadis itu menghembuskan nafasnya secara perlahan
"Rumah seperti apa yang kamu cari?"
"Nyaman dan tenang"
"Mau membeli rumah saya?" Celetuk gadis itu yang membuat Gautama terkejut, lalu bagaimana dengan keluarga gadis itu jika rumah yang mereka tempati akan di jual
"Dimana keluargamu?" Tanya Gautama pada gadis yang berada dihadapannya
"Ada, hanya saja mereka tidak akan peduli dengan keadaan saya, itu alasannya saya ingin menjual rumah tersebut. Mereka sudah memulai kehidupan baru tanpa adanya diri saya." Ujar gadis itu seraya tersenyum menatap Gautama, mendengar hal itu entah mengapa ada perasaan menyesakan yang memenuhi rongga hatinya
"Oh iya, saya belum sempat berkenalan denganmu, siapa namamu?" Tanya gadis itu seraya mengulurkan tangannya dan disambut dengan uluran tangan dari Gautama
"Gautama Byakta"
"Geya Nismara, panggil saja Geya"
Setelah berkenalan mereka dikejutkan dengan kedatangan tiga pria seraya memperkenalkan diri mereka
"Saya, Lambuyan"
"Saya, Caka Madhuka"
"Dan saya Omkara Aksata"
"Kami bertiga adalah teman dari Byakta" seru mereka secara bersama
"Mara, senang berkenalan dengan kalian"
"Geya, senang berkenalan dengan kalian."
"Mau close, Ya?" Tanya Lambuyan pada Geya dan mendapatkan respon anggukan dari Geya, atas inisiatif dari mereka sendiri yang ingin membantu Geya, membuat Geya merasa senang sekali. Bagaimana tidak, pekerjaan dirinya diringankan oleh teman-teman barunya. Setelah selesai menutup toko, Geya berpamitan ingin pulang sebelum hari mulai terlalu larut malam. Sa'at Gautama ingin mengantarkan Geya pulang, dengan tolakan secara halus dan hati-hati. Geya menolak bantuan dari Gautama, pasalnya dia benar-benar sudah terbiasa dan jarak yang ditempuh tidaklah terlalu jauh. Hal itu hanya bisa membuat Gautama memandangi punggung Geya yang sudah perlahan menjauh dari hadapannya.
"Rupa-rupanya dari sini bunga mawar berwarna pink itu." Celetuk Caka yang mendapatkan tatapan tajam dari Gautama.
G a u t a m a B y a k t a
Belum ada Komentar untuk "Novel Gautama Byakta : 2. Setangkai Bunga Mawar "
Posting Komentar