Novel Gautama Byakta : 3. Sepenggal kilasan luka

 


Dari semua hal yang membuatku bisa tertawa untuk pertama kalinya pada orang asing adalah sa'at aku melihat raut wajahmu

Gautama Byakta

Baca Juga

****


Gautama melangkahkan kakinya menuju toko milik Geya, dirinya benar-benar penasaran seperti apa rumah milik Geya yang dia tawarkan pada dirinya. Setelah sesampainya di toko milik Geya, terlihat beberapa pengunjung yang berdatangan untuk membeli membeli beberapa bunga. Setelah menunggu beberapa menit, kini toko milik Geya sudah kembali hanya tersisa beberapa pengunjung, Gautama putuskan melangkahkan kakinya memasuki area dalam toko Geya, seraya mengedarkan pandangannya Gautama melihat Geya yang tengah menyusun beberapa bunga pada vas bunga yang terlihat sangat indah.

"Mara" panggilnya pada Geya sa'at berada disamping Geya.

Mendengar seseorang yang memanggil namanya, Geya mengalihkan pandangannya pada Gautama yang tepat berada disampingnya seraya menatapnya dengan tatapan lekat.

"Gau, ada yang bisa aku bantu?" Tanya Geya pada Gautama, pasalnya dia akan bertemu dengan Gautama hanya dimalam hari, dan hari ini dirinya tidak terpikirkan sedikitpun bahwa Gautama akan datang berkunjung ke toko miliknya.

"Perihal rumah mu yang ingin di jual."

"Sebentar, aku selesaikan ini dulu. Setelah itu kamu bisa melihat-lihat rumahku." Ujar Geya, lalu bergegas menyusun kembali bunga-bunga yang sempat dirinya kerjakan tadi.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya Geya meminta Gautama untuk mengikuti langkahnya menuju rumah milik dirinya, beberapa menit berlalu. Tiba sudah di depan rumah milik Geya, rumah minimalis yang bergaya Eropa klasik beberapa tanaman hias dipelataran rumah hingga pepohonan yang cukup rindang menjulang tinggi, yang disengaja ditanami untuk menambah keasrian rumah.

"Mau melihat isi di dalam rumahnya?" Tanya Gea pada Gautama yang mendapatkan anggukan darinya sebagai tanda jawabannya

Sa'at memasuki kedalam rumah, beberapa terlihat ornamen-ornamen dan tanaman hiasa yang berada di setipa sudut rumah. Benar-benar rumah minimalis yang bergaya Eropa klasik, bahkan beberapa furniture tidak mengurangi gaya rumah ini siapapun mereka yang masuk kedalam rumah milik Geya akan bisa mengetahui disaen interior rumah milikinya. Sa'at memasuki ruangan keluarga, Gautama dibuat terpukau dengan desain interior gaya Victoria.
Setelah berkeliling melihat isi dalam rumah, Geya membawa Gautama menuju halaman belakang, setibanya Gautama di halaman belakang rumah lagi-lagi dirinya dibuat berdecak kagum oleh rumah milik Geya.

"Kamu suka berkebun Ra?"

"Iya, sa'at kecil dulu orang tua ku yang kerap mengajak ku untuk berkebun."

"Bukankah sangat disayangkan sekali rumah ini jikalau di jual" tutur Gautama pada Geya

"Rumah ini, menyimpan kenangan yang menyakitkan. Di sa'at mereka meninggalkan ku dengan keegoisan mereka" ucap Geya seraya tersenyum getir, mengingat kenangan-kenangan dulu sa'at dirinya diserahkan kepada neneknya tanpa adanya kejelasan apapun. Sa'at dirinya beranjak dewasa Geya mengetahui bahwa kedua orang tuanya tidak mengharapkan kehadiran Geya ditengah-tengah antara mereka. Geya bertahan sampai dirinya ada sa'at ini atas permintaan nenek Geya, berulang kali percobaan penghilang nyawa Geya dilakukan oleh ibu kandungnya, beruntungnya semesta mengambulkan permintaan sang nenek untuk mengahdirkan Geya di Dunia, itulah sebabnya Geya pergi ditinggalkan oleh kedua orang tuanya.

"Berapa harga yang kamu tawarkan untuk rumah mu ini?"

"3.144,01 us dollar." Ucap Geya menyebutkan sederet angka, mendengar harga yang Geya tawarkan membuatnya sedikit terkejut. Untuk ukuran rumah minimalis bergaya Eropa klasik dilengkapi dengan furniture-furniture rumah, bukankah harga yang disebutkan oleh Geya terlalu murah pikirnya.

"Kamu serius? Saya tidak ingin kedepannya ada masalah tentang harga yang kamu tawarkan."

"Saya serius, rumah ini tidaklah begitu berharga bagi saya."

"Kapan kita akan mengurus semua surat-surat kepemilikan rumah dan tanah ini?" Tanya Gautama pada Geya seraya berjalan menuju halaman depan rumah milik Geya

"Besok, saya akan mengurusnya dengan pengacara Nenek saya. Kita bisa bertemu di Kafe yang berada di sebrang jalan lampu merah."

"Oke, saya pamit." Ujar Gautama, setelah mengatakan hal itu dia pergi meninggalkan Geya yang masih berada di depan halaman rumah miliknya. Gautama tidak mengerti apa yang dipikirkan oleh gadis itu, dan bagaimana rasanya menjadi Geya yang kehadirannya justru tidak diharapkan oleh kedua orang tuanya.
Ketika kehadiran sang buah hati begitu didambakan oleh sepasang suami istri, hal itu tidak dengan kedua orang tua Geya. Masing-masing dari mereka takut jika suatu sa'at nanti cinta mereka satu sama lain berkurang karena kehadirannya Geya diantara mereka dan menyebabkan rusaknya hubungan rumah tangga mereka.


****


Sedari tadi Gautama disibukkan dengan dirinya yang mengemasi semua barang-barang miliknya, untuk dirinya bawa menempati rumah barunya yang ia beli dan sudah menjadi sah miliknya sejak dua hari lalu. Serangkaian kegiatan dirinya yang disibukkan dengan perpindahan hak tanah dan rumah atas nama dirinya cukup melelahkan baginya, entah bisa dikatakan beruntung atau tidak pak Tua yang datang secara tiba-tiba menemuinya dengan membawa pengacara keluarganya untuk mengurus semua surat-surat dan dokumen-dokumen yang akan di alihkan atas nama dirinya.

"Sampai sa'at ini kamu belum bisa membuktikan ucapanmu pada saya, sa'at pemakaman kedua orang tuamu." Ucap pria Tua yang sa'at ini berada dihadapan Gautama, seraya menyesap kopi hitam miliknya pria Tua itu kembali menatap lekat sang cucu kesayangannya, yang sedikit mewarisi sifat dari dirinya.

"Salahkan anak dan menantumu yang meninggalkan hutang ratusan juta pada anak semata wayangnya." Tutur Gautama seraya tersenyum miring

"Salahmu yang tidak ingin meminta bantuan pada Kakek mu ini, dan dengan bodohnya menjual satu-satunya peninggalan orang tuamu untuk melunasi hutang-hutang mereka." Ujar kakek kembali. Pramudya Prawara, dia bukanlah sosok seorang kakek yang kejam terhadap cucu semata wayangnya, justru dirinya begitu menyayangi sang cucu, hanya saja fakta bahwa ambisi cucunya itu menurun dari dirinya terlebih lagi jika hal itu menyangkut perihal kehidupan pribadinya.

"Yang terpenting, saya terbebas dari keluarga Ibas dan Tari. Mereka cukup menganggu kehidupan saya, terlebih lagi dengan Tari yang selalu mengikuti kemanapun saya pergi" Tutur Gautama pada Kakeknya

"Kamu masih belum bisa mengikhlaskan kepergian Meera?" Tanya Parmudya pada cucu kesayangannya

"Bukankah karena Linza Gantari, Meera harus merenggut nyawanya."

Kilasan-kilasan memori dirinya bersama Meera, adik perempuan yang sangat dicintainya. Hingga tragedi yang merenggut nyawa adik kesayangannya, mengukir luka yang sangat dalam bagi dirinya, dan mereka yang ditinggalkan Meera.

"Sarala Meera Prawara, nama yang kamu berikan pada adikmu dulu. Auta, sampai kapanpun kamu tidak bisa menghilangkan Prawara dari dalam dirimu." Ucap Pramudya untuk mengingatkan bahwa di dalam diri sang cucu ada darah Prawara yang mengalir dan fakta itu tidak bisa di hilangkan.

"Karena nama itulah Meera merenggut nyawanya."

"Kejadian yang lalu, cukup dijadikan memori kenangan. Bukan suatu hal untuk dijadikan ajang balas dendam" Kata Pramudya dengan nada tegasnya, seraya bangkit dari duduknya meninggalkan Gautama yang masih termenung dengan pemikirannya. Siapa yang akan rela sa'at dirinya menyaksikan tragedi yang merenggut adik tercintanya, terlebih lagi sang pelaku utama masih hidup dengan bebas tanpa penyesalan sedikitpun, sedikit tidak adil rasanya sa'at tahta kekuasaan menenggelamkan suatu kebenaran. Itulah alasan dirinya yang ingin terbebas dari belenggu Linza Gantari dan Ibas Barnajaya, sampai kapanpun dua nama itu akan selalu dirinya ingat sampai akhir hayatnya.


Novel Gautama Byakta.




























G a u t a m a B y a k t a


Artikel Terkait

Belum ada Komentar untuk "Novel Gautama Byakta : 3. Sepenggal kilasan luka"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel