Novel Gautama Byakta : 11. Penjelasan



Novel-Gautama-Byakta-11-Penjelasan

Aku hanya ingin hidupku, meskipun mereka menginginkan kematian dari diriku aku hanya menginginkan kehidupan untukku.

Geya Nismara

****


Suara langkah kaki yang mendekati dirinya membuatnya mengambil apapun yang berada disekitarnya. Sa'at sepasang kaki berada dihadapannya, ketika Geya ingin melemparkan sesuatu pada pria yang berada dihadapannya pergelangan tangannya sudah di genggaman terlebih dahulu oleh sang pria, seraya menarik tubuh Geya kedalam pelukannya.

"Tenanglah" ucapnya seraya mengelus surai Geya dengan lembut.

Setelah merasakan dirinya yang sudah kembali tenang, Geya mengurai pelukan pria yang berada dihadapannya, pria yang memberikan warna kedalam hidupnya, dialah Gautama Byakta seseorang yang ia hindari beberapa hari ini.

"Terimakasih" ucap Geya seraya bangkit berdiri, "terimakasih karena telah memberikan ketenangan pada saya" ucap Geya kembali dengan tatapan yang tertunduk melihat sepasang sepatu yang sangat pas di sang empunya.

"Untuk apa?" ujar Gautama seraya mengangkat dagu Geya sehingga dia menatap kearahnya.

"Apa ini yang membuatmu menghindariku?" Tanya Gautama kembali

"Maaf" ujar Geya, bulir-bulir bening air mata kembali jatuh dari kelopknya.

"Mara, kemarilah" ujar Gautama seraya merentangkan kedua tangannya lalu disambut dengan Geya yang menghamburkan ke pelukan Gautama, seraya kembali menangis dengan tersedu-sedu. Mengutarakan apa yang telah terjadi pada dirinya. Mendapatkan ancaman hingga teror yang berujung pada sang nenek yang tidak tahu menahu perih masalah dirinya.

Dibawah sinar rembulan yang terang, mereka kembali menguatkan satu dengan yang lainnya. Tanpa mereka tahu, sepasang mata yang tengah menatap ke arah mereka seraya mencengkram kuat hingga buku-buku jarinya memutih, ketika melihat dua orang manusia yang tengah berpelukan dengan mesranya.

Setelah beberapa menit berlalu, Geya kembali mengurai pelukannya dari Gautama seraya menatap dalam pria yang ada hadapannya itu dan mengatakan

"Bisa antarkan aku untuk pulang?" Tanya Geya dan langsung mendapatkan anggukan dari Gautama.

Sepanjang perjalanan tidak ada satupun diantara mereka yang ingin memecahkan keheningan, masing-masing dari mereka terpokuskan pada pemikiran mereka sendiri, awalan seperti apa agar mereka bisa kembali seperti sediakala  sebelum terjadinya kejadian yang membuat mereka saling berjauhan.

Apakah mereka harus saling mengungkapkan kata rindu? Jika iya, memangnya status apa diantara mereka jika tidak setatus hanyalah sebatas teman, bagaimana bisa ada ungkapan rindu ketika fakta menyadarkan itu semua.

"Mara, saya menuntut penjelasan darimu"

Setelah mengatakan hal itu, Gautama berpamitan kepada Geya. Ada gak yang harus dirinya lakukan setelah mengantarkan Geya.

Sa'at menginjakkan kakinya di anak tangga terakhir, langkahnya terhenti seketika sa'at melihat satu kota dengan hiasan pita biru diatasnya. Dengan ragu Geya mengambil kotak tersebut dan membukanya secara perlahan, dan ketika kotak itu sudah sepenuhnya terbuka Geya menarik napas sejenak lalu menghembuskan nya kembali dan membuang kotak tersebut kedalam tempat sampah yang berada tepat dibawah anak tangga rumahnya.

Ketika memasuki rumah miliknya, pemandangan perempuan paruh baya yang tengah menyulam satu syal dengan ditemani keheningan yang ada.

"Sudah pulang kamu Mara?" Tanya perempuan paruh baya tersebut, yang masih saja terpokuskan dengan menyulamnya.

"Sudah Nenek" ucapnya seraya mengahmpiri sang Nenek yang tengah melanjutkan kegiatan menyulamnya

"Mara, bicaralah dengannya apa yang sebenarnya terjadi jika tidak ingin ada perpisahan diantara kalian" ucap sang Nenek memebrikan nasehat pada sang cucunya

"Iya Nenek, aku akan menjelaskan semua padanya" kata Geya seraya melangkahkan kakinya menuju kamar miliknya, meninggalkan sang Nenek yang diam menatap lekat sang cucu dari arah ruang tamu.

Ia hanya bisa berharap bahwa sang cucu akan baik-baik saja dan tetap dalam lindungan sang pencipta. Jika suatu sa'at nanti dirinya tidak akan bisa menemani sang cucu untuk melanjutkan hidupnya pada siapa dirinya menitipkan sang cucu untuk menjalani kehidupan kerasnya, di usianya yang masih terbilang remaja, ia harus menanggung penderitaan seperti ini.


****


"Mara, katakanlah" ucap Gautama yang berada tepat dihadapan Geya.

Geya mengalihkan pandangannya menatap sekeliling kafe, dengan perlahan Geya menghembuskan nafasnya seraya berkata,

"Bisa kita berbicara di rumahmu saja." Pinta Geya pada Gautama. Guratan jelas pada kening Gautam ketika mendengarkan permintaan dari gadis yang berada dihadapannya itu.

"Aku memohon Auta" pinta Geya kembali seraya menggenggam erat tangan Gautama.

Melihat hal itu, Gautama menyetujui permintaan dari Geya, gadis yang beberapa hari ini menghindarinya. Entah apa alasannya dirinya benar-benar tidak mengetahui apa yang telah terjadi pada Geya

"Ayo" Ucap Gautama seraya beranjak dan mengulurkan tangannya pada Geya dan Geya yang langsung meraih uluran tangan dari Gautama.

Beberapa menit berlalu, setibanya mereka di salah satu rumah dengan gaya Eropa klasik. Ketika memasuki dalam rumah itu, semerbak aroma pengharum ruangan dari bunga Lavender menyegarkan indra pengumuman ketika Geya menginjakkan kakinya di lantai rumah milik Gautama.

"Selamat datang Mara, sudah lama kakek tidak melihatmu berkunjung." Ucap Pramudya ketika melihat Geya yang sedang menatap sekeliling rumah milik sang cucunya. Geya yang mendengarkan ucapan seseorang pun mengalihkan arah pedangnya pada sang kakek dari Gautama.

"Terimakasih Kakek, maaf jika sudah lama tidak berkunjung" ucap Geya seraya tersenyum menatap Pramudya

"Duduklah, kalian ingin berbicara di sini atau di halaman belakang rumah?" Tanya Pramudya pada mereka berdua

"Halaman belakang" ujar Gautama seraya berjalan terlebih dahulu ke halaman belakang dengan di ikuti Geya

"Mari Kakek" sapa Geya sa'at tepat berada dihadapan Pramudya

"Iya silahkan."

Hamparan rerumputan hijau, beberapa bunga yang tengah bermekaran dengan indah. Dan pepohonan yang rindang di penuhi daun-daun yang hijau, dan beberapa tanaman buah dan sayuran yang terlihat segar di pandangan mata.

"Semua ini, kamu yang merawatnya?" Tanya Geya setelah menempati tempat duduk dihadapan Gautama

"Iya" ujar Gautama menatap lekat Geya yang tengah mengedarkan pandangannya pada halaman rumah miliknya.

"Bagaimana kabarmu Mara" ujar Gautama seraya menyalakan satu batang rokok yang ia ambil dari dalam saku hoodie miliknya seraya menunggu jawaban dari mara Gautama mengapit rokok itu dengan bibir lalu menyalakan, Gautama menghembuskan asap rokok ke udara lalu mengapit rokok tersebut di celah jari-jemarinya menatap Geya yang tengah menatapnya.

"Sejak kapan kamu mengkonsumsi itu" ujar Geya seraya menujuk rokok yang berada di celah jari-jemari Gautama.

Mendengar pernyataan Geya, Gautama kembali menyesap batang rokok lalu menghembuskan asap rokok meniupnya sampai gumpalan asap itu menjauh dari arah pandangnya. Berulang kali hal itu Gautama lakukan seraya menatap lekat Geya yang masih saja menatap Gautama dengan tatapan yang dirinya tidak bisa mengartikan arti dari tatapan itu. Beberapa menit telah berlalu, keheningan yang melingkupi mereka, Gautama yang masih saja menikmati rokoknya dengan Geya yang menatap Gautama.

"Auta, jawablah!" Ujar Geya kembali dengan menekan setiap perkataannya

"Sejak kamu pergi" ucapnya tersenyum miring. Menarik napas kasar, lalu kembali menyesap rokok miliknya

"Seharusnya kamu yang menjawab pertanyaan dari saya, Mara" kata Gautama kembali dengan nada tenangnya namun menyimpan ucapan yang penuh dengan ketegasan.

Sa'at ingin menjawab ucapan dari Gautama, seseorang yang datang menghampiri mereka sejenak mengentikan Geya yang ingin menjawab ucapan dari Gautama, Bibi yang datang menghampiri mereka seraya membawa dua cangkir teh manis dan satu piring yang berisi berbagai macam Baklava dihidangkan dihadapan mereka. Setelah kepergian Bibi, Geya kembali melanjutkan ucapannya yang sempat terhenti

"Seharusnya kamu tau, bagaimana kabarku ketika kita bertemu kemarin malam" ujar Geya, seutas senyuman manis tercekat di bibirnya seraya mengambil secangkir teh yang tepat berada dihadapannya, membuat Gautama terpaku seketika sa'at melihat senyuman manis dari Geya, senyuman yang telah hilang beberapa hari ini dari hadapannya.


Novel Gautama Byakta.









G a u t a m a B y a k t a






Belum ada Komentar untuk "Novel Gautama Byakta : 11. Penjelasan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel