Novel Gautama Byakta : 21. Rasa Yang Semu

Novel-Gautama-Byakta-21-Rasa-Yang-Semu


Apa yang membuatmu bertahan jika kekasih hatimu pergi meninggalkan dirimu, menyisakan semua kenangan yang telah tercipta.

Novel Gautama Byakta

****


Persidangan sedang di gelar, bukti-bukti sudah dikumpulkan menjadi satu. Untuk membuat gadis yang bernama Linza Gantari mempertanggung jawabkan perbuatannya dan mendapatkan hukuman, manusia yang tak memiliki hati. Perdebatan dari kedua belah pihak antara pelapor dan tersangka berjalan dengan menegangkan, masing-masing dari advokat bersitegang memperebutkan kedudukan. Padahal salah satu advokat tersebut sudah memiliki bukti, para advokat itu masih bersitegang, hanya saja sang pencipta tidak tidur. Kebenaran pasti akan terungkap, dengan dijalankannya beberapa sidang berakhir dengan keputusan dari hakim yang memuaskan. Sesuai dengan Pasal 340 KUHP dan Pasal 459 UU 1/23 bahwa seseorang yang melakukan tindakan pidana tersebut di hukum penjara seumur hidup atau pidana penjara waktu tertentu paling lama 20 Tahun.

Rasa haru dan bahagia terpatri pada wajah mereka yang berbahagia. Ketika keadilan yang selama ini di perjuangkan berakhir dengan hasil yang memuaskan, terutama bagi sang pria. Gautama berjalan beriringan seraya menggenggam tangan Geya, keluar dari dalam ruangan sidang Gautama membawa Geya untuk mengikutinya tanpa menerima penolakan dari gadis yang tengah tangannya dia genggam sa'at ini.

Setibanya mereka di parkiran mobil milik sang pria, pria itu bergegas meminta sang gadis untuk masuk kedalam mobilnya di ikuti dengan dirinya lalu melajukan kendaraannya. Keluar dari tempat yang tidak seharusnya gadis itu kunjungi.

Hingga beberapa menit lamanya mereka bergegas turun dari dalam mobil. Melihat pemandangan yang benar-benar menyejukkan mata. Di sinilah, di tepian pantai mereka duduk bersama menyaksikan para pengunjung yang sedang bercanda tawa dengan riang penuh gembira. Pasangan muda dan mudi, hingga keluarga kecil yang tengah bermain-main membuat miniatur istana dari pasir, sungguh indah di pandang mata.

"Auta, apa tujuanmu membawaku ke tempat ini?" Tanya Geya seraya memalingkan wajahnya menatap sang pria yang tengah menatap senja yang indah, di tepian pantai mereka duduk dibawah langit senja. Menikmati sapuan air laut yang setiap gelombang datang mengenai kaki mereka.

"Lihatlah senjanya sangat indah" ujar Gautama seraya menunjuk matahari yang sudah terlihat akan terbenam itu.

"Memang indah, seperti raut wajah seseorang yang selalu terpatri senyuman ketika bertemu denganku."

"Siapa yang kamu maksud itu Mara?" Tanya Gautama, menatap sang gadis yang ada disampingnya ini....

"Kamu" ujar Geya seraya tertunduk malu.
Gautama yang mendengarkan hal itu, menampilkan senyuman manisnya. Lalu mengusap surai sang gadis seraya menarik tubuh sang gadis kedalam pelukannya.

"Harum, harum bunga Lavender" ucap Gautama setelah mencium surai sang gadis yang tengah berada dalam pelukannya.

Menikmati waktu senja tanpa bayang-bayang tentang apa yang terjadi pada mereka. Setelah melewati serangkaian prosedur tentang kasus yang mereka alami, mereka percaya bahwa sang Pencipta tidak tidur dan akan membantu mereka untuk menemukan jalan tentang sebuah kebenaran, hingga kepercayaan itu berubah menjadi kenyataan. Serangkaian peristiwa telah menemukan titik temu, biarlah. Biarlah apa yang telah terjadi tidak di perizinkan untuk terkuak pada khalayak, hanya mereka saja yang tau.

"Auta" ujar Geya seraya mendongakkan kepalanya menatap wajah sang pria yang tengah menunduk menatap wajahnya, terpatri senyuman manis dari sang pria yang sa'at ini tengah memeluknya.

"Hmm, ada yang ingin kamu katakan?"

"Bisa lepaskan pelukannya, lihatlah sekeliling menatap kita"

"Biarlah, biarlah mereka tau bahwa aku tidak sendiri sa'at ini" kata Gautama dengan diakhiri kekehan darinya. Lalu melepaskan pelukannya pada sang gadis, menggenggam erat tangan sang gadis, seakan tidak ingin kehilangan sang gadis. Mengusap surai sang gadis untuk kesekian kalinya....

"Aku akan mengantarkan mu pulang" ujar Gautama, lalu melangkahkan kakinya menuju tempat parkir diikuti oleh Geya dengan senyum yang tak pernah pudar dari wajahnya, terlebih lagi ketika melihat genggaman erat dari sang pria.

Semesta berbaik hati padanya kali ini, hanya saja rasa resah dan gelisah kerap menghampiri. Ketika mengingat bahwa dirinya dan sang pria seperti seolah-olah melanggar takdir sang Pencipta. Apakah cerita dirinya bersama sang pria yang telah tercipta membentuk suatu kenangan akan usai. Ketika sang pria menemukan tambatan hatinya, dan dirinya yang terjebak dengan rasa yang hanya menjadi angan-angan belaka.


****


Hari-hari yang di jalani oleh kedua insan tersebut sangatlah bahagia, tawa dari orang-orang sekeliling nya yang selalu menghiasi mereka. Setiap sudut yang dijadikan tempat mereka saling berbagi tawa menciptakan kenangan yang mungkin bisa berubah menjadi kenangan yang menyakitkan, hanya Tuhan yang tahu kedepannya akan seperti apa. Jatuh cinta, tidaklah ada yang salah dengan rasa itu. Hanya saja, ketika rasa jatuh cinta seolah-olah menyalahi takdir dengan ketetapannya. Perbedaan yang selalu menjadi penghalang ketika dua insan ingin menyatukan perasaannya.

Dan, siapa yang menciptakan malam dan siang? Bukankah itu pencipta alam semesta yang melakukannya, menunjukkan kekuasaan pada insan yang kerap lupa pada siapa Tuhan mereka.

"Geya, bulan depan adalah tepat usiamu menginjak 17 Tahun. Apa kamu memiliki harapan?" Tanya Lambuyan. Sa'at ini mereka tengah menikmati waktu bersama di dalam toko milik Geya, seraya menunggu para pembeli, mereka menikmati waktu luang mereka sa'at mereka tidak memiliki pekerjaan.

Sang gadis yang mendapatkan pertanyaan dari sang pria yang berada di sebrang hadapannya itu, menyunggingkan senyumnya, seraya mengatakan "Aku hanya menginginkan kebahagiaan." Ujar Geya seraya beranjak pergi dari hadapan mereka. Ketika melihat seorang gadis muda yang memasuki kedalam tokonya

"Selamat datang"

"Ah iya, aku ingin melihat-lihat bunga yang ada di toko ini"

"Silahkan, jika sudah anda bisa menemui saya disana" ujar Geya seraya menujuk tempat kasir, dan mendapatkan anggukan dari perempuan itu.

Gautama melihat interaksi kedua gadis itu, menyunggingkan senyumnya. Kekagumannya bertambah berkali-kali lipat ketika melihat bagaimana cara sang gadis memperlakukan para pengunjung toko, meskipun beberapa kali para pengunjung hanya melihat-lihat dan tidak memiliki niat untuk membeli. Dengan sabar sang gadis tetap memberikan pelayanan penuh kepada mereka para pengunjung dan pembeli.

"Ah Geya, mengapa permintaannya sangatlah sederhana. Tidak seperti remaja seusianya sa'at ini, yang ketika ditanyakan tentang keinginannya di hari sepesilanya mereka akan menjawab beberapa barang favorit milik mereka, tak ayal meminta hadiah dengan harga yang cukup pantastis." Ujar Caka, lalu menyandarkan tubuhnya di sofa.

"Geya tidak seperti kamu Cak, yang diberikan pertanyaan seperti itu pasti akan menjawab, bisakah Tuhan mengirimkan ku seorang gadis manis cantik jelita." Ujar Omka seraya menirukan gaya bicara Caka. Caka yang mendengarkan perkataan Omka hanya berdecak kesal, dirinya menganggap tidak ada yang salah dalam permintaannya.

"Mara, dia hanya menginginkan kebahagiaan yang mengiringi kehidupannya. Dia adalah seorang gadis manis nan cantik yang sederhana. Siapapun akan terpukau dengan parasnya, binar matanya yang selalu memancarkan kebahagiaan membuat siapapun yang menatap matanya akan jatuh cinta. Gadis keturunan dari Turki itu, seperti bukanlah seorang gadis biasa, melainkan seorang putri kerajaan. Tuturnya yang lemah lembut, dan perkataanya yang mengenyangkan, siapapun akan jatuh cinta pad...."

"Termasuk dirimu Gau, yang telah jatuh cinta dengannya" ujar Omka yang menyela ucapan Gautama. Sang empu yang mendengarkan ucapan dari temanya itu hanya memberikan respon diam, tatapannya yang tak pernah lepas dari sang gadis. Menatap setiap gerak-gerik sang gadis, seakan jika dia mengalihkan arah pandangnya seperti merasa kehilangan.

"Ingat Gau, Geya yang menginjak 17 Tahun dan kamu 29 Tahun. Kamu harus sadar, bahwa Geya terlalu muda untuk dirimu, bukankah Geya seusia dengan Meera. Jadi, jangan hancurkan mimpinya hanya karena cinta yang tak memiliki kepastian." Kata Caka, membuat Gautama terpaku seketika. Apakah salah? Jika dirinya jatuh cinta dengan gadis yang jauh dibawah uisanya. Apakah ketetapan itu dan fakta itu harus membuat dia memendam perasaannya pada sang gadis yang selalu memberikan bahagia di setiap hari-harinya.

"Cak!" Tegur Omka pada Caka. Dirinya resah dengan apa yang telah dikatakan oleh temanya itu, takut jika hanya perkataannya menyakiti Gautama.

Gautama beranjak pergi, menghampiri Geya yang terlihat tengah duduk di sopa yang berada di ruangan kasir milik toko gadis itu. Setibanya Gautama dihadapan Geya, dia meminta untuk berbaring dipangkuannya, menikmati sapuan lembut dari tangan gadis itu yang mengusap surainya.



Baca Juga :

1. Novel Gautama Byakta Episode 1

2. Novel Gautama Byakta Episode 2

3. Novel Gautama Byakta Episode 3

4. Novel Gautama Byakta Episode 4

5. Novel Gautama Byakta Episode 5

6. Novel Gautama Byakta Episode 6

7. Novel Gautama Byakta Episode 7

8. Novel Gautama Byakta Episode 8

9. Novel Gautama Byakta Episode 9

10. Novel Gautama Byakta Episode 10

11. Novel Gautama Byakta Episode 11

12. Novel Gautama Byakta Episode 12

13. Novel Gautama Byakta Episode 13

14. Novel Gautama Byakta Episode 14



18. Novel Gautama Byakta Episode 18

19. Novel Gautama Byakta Episide 19

20. Novel Gautama Byakta Episode 20

























G a u t a m a B y a k t a



Belum ada Komentar untuk "Novel Gautama Byakta : 21. Rasa Yang Semu"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel