Novel Gautama Byakta : 9. Sebuah Rasa Takut


Ketika segala ketakutan selalu menghampiri, apakah aku masih pantas mendapatkan rasa cinta?

Geya Nismara

****


Sa'at tengah menikmati lagu, dering handphone mengalihkan atensi mereka pada handphone milik Omka yang tertera nama si pemanggil telepon yang bertuliskan, 'Kutub Antartika' membuat mereka terdiam sejenak seraya melemparkan pandangan satu sama lainnya.


"Angkat" ujar Lambuyan mengintrupsikan Omka untuk mengangkat panggilan itu segera.

"Halo Gau" ujar Omka

"Dimana kalian?" Tanya Gautama dari arah seberang telepon

"Ada di toko Geya"

"Oke" ucapnya mematikan panggilan secara sepihak dan bergegas menuju toko milik Geya

"Gimana?" Tanya Caka pada Omka

"Jalan kesini" ujar Omka dan mendapatkan anggukan dari Lambuyan dan Caka.

Setelah beberapa menit berlalu, bunyi lonceng mengalihkan perhatian mereka semua yang terdiam seketika saat melihat seseorang yang masuk kedalam toko milik Geya, pria yang mereka tunggu, Gautama Byakta.

Gautama, mengernyit bingung ketika dirinya mengedarkan arah pandang mencari-cari si empu pemilik toko, nihil. Tidak ada, dimana Geya pikir Gautama.

"Dimana Mara?" Tanya Gautama pada mereka bertiga

"Itu" ucap mereka serentak seraya menujuk ruangan kasir, lantas Gautama bergegas menuju arah kasir tersebut. Saat mendekati ruang tersebut terlihat Geya yang tengah tertidur dengan pulas diatas sopa yang berada tepat di belakang meja kasir

Setelah memasuki area dalam kasir, Gautama melepaskan hoodie miliknya dan membentuknya menjadi kotak, lalu ia dengan hati-hati meletakkan hoodie miliknya dibawah kepala Geya, setelah selesai meletakkan hoodie nya Gautama berjalan menuju meja kasir tepat menghadap ketiga temannya, kegiatan yang sudah biasa ia lakukan saat datang mengunjungi Geya dan menggantikanya untuk berjaga di kasir.

Tidak berselang lama, beberapa pembeli mulai berdatangan, dengan sigap mereka berempat bergegas melakukan tugas mereka masing-masing, ketika beberapa pembeli akan menghitung total pembelian mereka tentu saja mereka merasa senang saat melihat sang kasir adalah seorang pria yang tampan dan pria yang menjadi idola mereka.

Satu persatu pembeli menyelesaikan transaksi nya, dari beberapa mereka ada yang terang-terangan melemparkan gombalan- gombalan pada Gautama yang tidak diindahkan oleh sang empunya.

Hingga pelanggan berikutnya, tatapan matanya seakan terpesona dengan sang pria.

"Permisi Ka, ini belanjaan milik saya. Oh iya kakanya masih sendiri ya?" Tanya perempuan tersebut seraya bertingkah malu-malu

"Sudah memiliki istri, itu istrinya tengah tertidur" ujar Lambuyan yang saat itu berada disamping Gautama seraya menujuk Geya yang tengah tertidur diatas sopa

Mendengar hal itu, perempuan tersebut seketika kecewa dengan fakta yang ia ketahui, meskipun pakta tersebut hanyalah sebatas faktamorgana.

"Dengan cara kamu yang diam saja membuat mereka semakin gencar mendekatimu, sama seperti Geya di sudut pandang pria lain" ujar Lambuyan seraya menepuk dengan pelan bahu dari temanya itu, dan bergegas beranjak keluar dari ruangan kasir. Menyisakan tanda tanya besar pada Gautama saat Lambuyan berbicara padanya.

Gautama tidak tau perasaan apa sa'at ini yang memenuhi relung hatinya, ia hanya nyaman, tenang dan bahagia ketika berada dekat dengan Geya Nismara. Jika itu perasaan cinta, memangnya seperti apa rasanya cinta dan perasaan jatuh cinta. Yang Gautama tau hanyalah perasaan tidak senang ketika melihat Geya bercanda gurau dengan pria selain dirinya.


****


Bising yang tercipta membuat sang gadis yang tengah tertidur dengan lelapnya terganggu seketika, samar-samar dia mendengar seseorang yang sedang tertawa hingga Indra penciumannya merasakan bau harum dari parfum yang ia kenali dengan baik. Saat membuka matanya ia terkejut ketika melihat seseorang pria yang tengah membelakanginya, terlihat juga pria itu mengenakan apron kain milik tokonya yang berwarna coklat.

"Sudah bangun"

Mendengar suara itu sontak membuat Geya tersadar dari lamunannya.

"Sudah" jawab Geya seraya menganggukkan kepalanya dan kembali menyandarkan tubuhnya pada sandaran sopa yang tengah Geya duduki di ikuti dengan Gautama yang mengambil alih tempat duduk disamping Geya

"Aku tidak tau apa yang akan terjadi pada kita" ucap Geya tiba-tiba seraya menatap ke arah depan tanpa melirik sedikitpun Gautama yang berada disampingnya

"Maksudmu?" Tanya Gautama seraya menangkup wajah Geya untuk menghadap ke arahnya

"Ketetapan, suatu ketetapan dari sang pencipta yang sepertinya akan terjadi" ujarnya kembali

"Apa yang membuatmu resah seperti ini, kataka sejujurnya" pinta Gautama seraya menatap lekat wajah Geya dan melepaskan tangannya dari wajah milik Geya

"Jangan menerka-nerka sesuatu yang belum pasti terjadi Mara, kira bukan Tuhan yang mengetahui segalanya. Saya sudah berjanji akan bertanggung jawab pada dirimu" Kata Gautama dengan nada dinginya

"Atas dasar apa, atas dasar apa kamu berkata seperti itu Gau."

"Atas dasar Rasa, suatu rasa yang sulit saya katakan dan jelaskan pada kamu Mara, mengertilah ketika saya sudah berjanji seperti itu maka selamanya akan seperti itu."

"Termasuk ketika kamu sudah memiliki kekasih?" Tanya Geya yang tak kunjung mendapatkan jawaban dari Gautama

"Jangan menjadi laki-laki yang egois, mempertahankan dua perempuan tanpa adanya kejelasan untuk salah satu perempuan itu." Ungkapnya seraya tersenyum getir

"Kejelasan seperti apa yang kamu inginkan Mara, ketika dirimu saja masih berada dalam ambang kebingungan." Ucapnya terdiam sejenak, "apa karena rasa takutmu pada seorang laki-laki? Ayahmu yang tidak menginginkan kehadiran mu lalu hampir membunuhmu? Kamu tidak bisa menilai seperti itu, saya dengan ayahmu jelas berbeda. Seorang ayah cinta pertama bagi perempuan justru malah menorehkan luka yang menjadi sebuah trauma pada sang anak perempuannya." Ujar Gautama beranjak berdiri dan melangkahkan kakinya menuju pintu

"Dan"ucapnya kembali mengehentikan langkahnya. "Pahamilah diriku, meskipun itu hanya sedikit saja maka kamu akan mendapatkan jawaban dari beberapa pertanyaan yang ada dalam benakmu."

Setelah itu Gautama kembali melangkahkan kakinya yang sempat terhenti.

Dibawah langit senja, Geya merasakan perasaan yang sulit ia jelaskan terlebih lagi beberapa perkataan dari Gautama yang entah apa maksud dibalik perkataannya.


****


Malam semakin larut, sejak kepergian Gautama dengan yang lainnya Geya kembali sendiri di dalam toko miliknya, jam sudah menunjukkan pukul 23.00 entah apa yang membuatnya berakhir dengan pulang larut malam. Hingga dirinya bergegas untuk menutup toko miliknya dan pulang, mengistirahatkan segala kericuhan yang terjadi pada dirinya, setelah selesai dengan semuanya Geya melangkahkan kakinya keluar arah toko dan menguncinya lalu bergegas berjalan untuk sampai pada rumah miliknya.

Saat melewati lorong-lorong yang tanpa penerangan jalan sedikitpun, hanya tersisa cahaya dari sinarnya bulan, gadis itu terkejut dengan tarikan tangan seseorang pada dirinya hingga menghempaskan tubuh gadis itu pada dinding di sepanjang kanan dan kiri lorong, bibirnya yang terkunci dengan rapat karena ulah tangan orang tersebut.

"Menjauhlah, sebelum dirimu bernasib sama dengan dia!" ujar orang tersebut seraya menghempaskan tanganya dari wajah Geya, yang ia gunakan untuk membungkam Geya.
Setelah mengatakan hal itu, orang tersebut meninggalkan Geya dengan segala ketakutan yang menghampirinya, benar saja apa yang Geya pikirkan bahwa dalam waktu sekejap sesuatu akan menimpa dirinya.

Ya Tuhan, jangan sampai sesuatu terjadi pada dirinya. Ia benar-benar berharap jika apa yang menjadi ketakutannya tidak menjadi kenyataan, dan jika fakta itu terungkap itu tandanya tugasnya sudah selesai, jangan sampai rasa mempengaruhi tujuannya.


Novel Gautama Byakta.

















G a u t a m a B y a k t a


Belum ada Komentar untuk "Novel Gautama Byakta : 9. Sebuah Rasa Takut "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel